Ternyata Tak Lebih BURUK...


“Mengapa??? Bagaimana bisa??? Jadi selama ini apa artinya???”

Pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa Ian jawab sendiri mememenuhi otaknya…Penat! Gerah! Lelah!

Sakit???? Memang begitu adanya….Hujan batu tiba-tiba saja menimpa dada, bagaimana tidak sakit?? Bahkan ini lebih dari sekedar sakit, PERIH! Ian meringis….

“Aku memang tak sempurna, kadang tak selalu ada buatmu, kadang ada perdebatan yang tercipta diantara kita? Tapi beginikah seharusnya??? Apa yang kau minta katakan saja! Bukankah kita sudah berkomitmen untuk saling terbuka? Kau memang tak setia!!! Pembohong!!!” Ian bergumam sendiri dalam hati, terpaku menatap langit-langit kamar. Ingin rasanya berteriak, mata pun berembun, tapi tertahan oleh harga diri seorang lelaki, Bukankah lelaki tak boleh cengeng???

Tiiit…tiiittt…tiiiittt….
Ian kehabisan kata-kata, telpon Mira ditutupnya begitu saja. Tak mengerti kenapa wanita itu berpaling ke Romi, mantan pacar yang katanya tak punya perasaan, yang katanya egois, tidak pengetian, mau menang sendiri, dan sebagainya.  Tak mengerti mengapa Mira dengan tenangnya menyampaikan kabar buruk itu. Tak mengerti mengapa Mira seakan tak punya sedikit rasa iba kepadanya saat menyebut-nyebut nama Romi. Tak mengerti mengapa Mira dengan suara tegas mengucapkan “Sampai di sini saja.”

Dahi Ian berkerut, titik-titik air mengenai hati seakan bagai perisai menyayat-nyayat. Hujaaaaaaaaaannn…
Masih cinta??? Ya, kata Mira masih cinta? Memang sebesar apa rasa cintanya itu, sehingga menendang cintaku ke sudut paling runcing di dalam kalbu dan sekarang sepertinya tak terlihat lagi? Hati Ian bajir…

Lelaki Tak Boleh lemah!!! Ian berusaha memahat deretan kata itu tepat di depan pandangannya, sehingga yang terlihat hanya itu dan menutupi bayang-bayang Mira. Kekasih yang begitu dikasihinya, disayanginya, diperhatikannya….dan yang pergi begitu saja untuk kembali pada sang mantan. Tapi, seberapa pun Ian berusaha, bayangan Mira selalu hadir, terlalu menguasai imajinya, membuatnya merasakan hantaman-hantaman angin nan pilu.

Siang itu, Ian berjalan di trotoar jalan dengan pandangan kosong. Duduk sejenak melepas kepentan di bawah pohon rindang, panas menyengat-nyengat. Seorang ibu bersama anaknya yang kira-kira berumur 5 tahunan ikut berteduh,
“ Nak, kita nunggu tantenya di sini aja yah!” Sang ibu berkata sambil membelai rambut anaknya, si anak mengangguk, peluh menetes deras dari keduanya.

Ian iseng bertanya sekedar mengalihakan kegalauannya. “ Bu, lagi nunggu seseorang yah? Panas banget nih, ibu mau minum? Ian menyodorkan sebotol air mineral tersegel yang masih berembun kepada si ibu.

Senyum ibu itu pun mengembang, ia mengambil air mineral itu dan meminumkannya kepada anaknya
“ Makasih nak, iya….ini sedang nunggu orang hari ini ibu akan dibaptis. Ibu bersama anak ibu akan pindah agama nak.”

WHAAAAAAAAAAATTTTT???????? Ian mengurutkan kening seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Kenapa seperti itu Bu? Ada apa?” sangat penasaran Ian antusias bertanya.

“Anak ibu ini punya 2 kelamin nak, jadinya suka sakit, kasihan. Besok rencananya akan dioperasi, ibu hanya buruh cuci, ibu tak punya ongkos, untuk biaya makan sehari-hari saja ibu harus ngutang ke sana kemari. Keluarga? Ibu sudah tak punya, ayah anak ini juga sudah meninggal 3 tahun yang lalu.” Si ibu menunduk tampak mimik wajah itu mendung. “Lantas ada seorang wanita baik hati ingin memberikan uang ke ibu buat operasi, juga memberikan uang tambahan, dengan imbalannya ibu dan anak ibu harus berpindah agama siang ini juga. Anak kelihatannya lebih beruntung, maka bersyukurlah!” Kata ibu sambil menatap Ian dengan mata berembun.

Ian tenganga, batu-batu besar menghantam kembali dadanya, tapi kali ini batu-batu itu lebih besar, mengakibatkan rasa lebih sakit dan perih dari yang pernah ia rasakan ketika Mira memutuskan untuk meningglakannya.

Seorang wanita melambaikan tangannya di seberang jalan. Si ibu bergegas menghampinya. Entah sempat pamit atau tidak Ian tak tahu, ia terlalu tersentak dengan kejadian itu. Baru lah ia tersadar ketika mobil silver yang membawa ibu dan anak itu melaju entah kemana.

Penyesalan tiada terkira di hati Ian, bagaimana bisa ia tidak mencegah ibu itu? Bagaimana bisa ia bisa membiarkan kebathilan terjadi di depan matanya? Ian menangis sendiri di bawah pohon itu. Tak peduli satu dua orang yang lewat memperhatiannya.

Satu kata yang terngiang terus di telinganya berhari-hari. “anak kelihatannya lebih beruntung, maka bersyukurlah” kata-kata ibu itu seakan menampar dirinya. “ya, bagaimana ia terlalu terlena akan kepuasan dirinya sendiri? Tak berterima kasih dengan apa yang sudah dimilikinya, terus saja terfokus pada Mira, padahal masih banyak hal yang patut disyukuri, Allah memberikan banyak hal, ayah…ibu…saudara..sahabat…dan begitu banyak orang yang mengasihinya. Uang??? Minta atau tidak orang tua selalu memberi. Ya, ternyata nasib Ian TAK LEBIH BURUK dari si ibu dan anaknya itu.

Astagfirullah....Astagfirullah….Ian kembali merenungi diri dan menangis sejadi-jadinya, memohon ampunan Rabb…

# Kadang kita terlalu memusingkan hal-hal sepele, terfokus dengan hal-hal sepele yang sebenarnya buruk, terhanyut di dalam kesedihan, atau terlalu merenungi masa lalu, bertanya tentang kenapa begini, kenapa begitu, mencari kesalahan siapa, tanpa mau mengambil hikmah dari kejadian-kejadian yang kita alami. Astagfirullah….. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.