Analogi Teman

Teman, mungkin bisa jadi layaknya cermin. Ada yang saat kau berkaca padanya, maka tampak mempesonalah dirimu, wajahmu terlihat lebih fresh, noda-noda hitam tak begitu terlihat. Tapi, ada pula yang saat kau melihat kepadanya, yang terpantul adalah gambaran dirimu yang lebih gemuk dari nyatanya, wajah lebih gelap, flek-flek yang ada terlihat semuanya.
Begitulah, ada teman yang seperti apapun dirimu, ia senantiasa berkata, “Kau hebat! Kau luar biasa! Kau mempesona!” Tak melihat celah yang ada pada dirimu. Sehingga kau pun mengira bahwa dirimu indah, selalu merasa istimewa. Pujian selalu menghujani harimu.
Dan ada pula teman yang seperti apapun lagakmu, sebaik apapun usahamu untuk belaku, tetap saja, yang ia perlihatkan adalah celahmu, bahwa kau tak pernah jadi sempurna, begitu banyak titik jelek yang ada pada dirimu. Kritik pedas senantiasa hinggap di telingamu.
Dan tentu saja, diciptakan 2 hal yang saling timbal-balik pasti ada hikmahnya. Tak selamanya kita butuh pujian, kadangkala membuat kita sombong. Pun tak melulu kita butuh kritik, karena bikin nyali kita ciut, next time takut-takut mencoba.
Betapa bosannya kita bila dekat dengan orang yang selalu menerima apapun yang kita lakukan, menganggap amazing setiap tindak tanduk kita, meski bagi kita biasa saja. Dan betapa emosi itu sering hinggap bila berinteraksi dengan mereka para pengkritis yang asyik bercekcok, mencari setiap celah dari diri kita, meski mereka juga tak sempurna.

Pernah Kau perhatikan langsat?
Mungkin ada sedikit persamaan antara langsat dan manusia…
Langsat baik, ketika tempatnya disatukan, berkumpul dan bertumpuk dengan langsat busuk, maka yang busuk bisa mengkontaminasi langsat baik.
Jamur, mikroba, dan antek-anteknya yang mengakibatkan mekanisme busuk itu disalurkan juga kepada si langsat yang masih baik, sehingga lama kelamaan jadi “busuk” semua.
Sama seperti manusia baik, ketika ia berada di tempat yang sama, berkumpul, dan bergaul dengan manusia “busuk”, maka yang busuk bisa mengontaminasi manusia “baik”.
Benci, dengki, dan sebangsanya yang mengakibatkan mekanisme busuk itu disalurkan kepada si manusia yang masih baik, sehingga lama kelamaan jadi “busuk “ rame-rame.
Itulah mungkin mengapa salah satu anjuran agama kita adalah berkumpul dengan orang shaleh, berteman dengan yang baik-baik.

Teman tak seperti makanan, yang ada masa kadaluarsanya, lalu dibuang dan dilupakan karena bisa jadi sakit perut saat dimakan. Teman layaknya buku, yang semakin lama kau simpan, semakin lama kau miliki, maka ia akan semakin berharga, sulit kau dapatkan, antik.Moment memperolehnya tak terulang 2 kali.

Teman tak seperti bayangan, yang kemana saja kau berada ia selalu mengikuti. Ada buatmu ketika kegelapan malam datang. Tapi teman layaknya layang-layang, yang bila tak kau genggam erat maka pergilah ia. Tak kau perhatikan arahnya, putuslah ia, mengikuti angin saja, kau tinggal sendiri menatap langit kosong.

Dan jangan kau pikir teman itu laksana alarm yang ketika kau set waktunya, maka ia akan berbunyi mengingatkan untuk bangun saat fajar menyingsing atau saat kau ingin bermunajat di tengah malam. Kadangkala kau harus punya insting sendiri untuk bangun, punya kemauan yang keras untuk beranjak. Bahkan sekalipun ia layaknya alarm, bukankah itu juga seringkali rusak? Minta dibetulkan?
Begitupun teman, jangan kau pikir teman akan selalu ada mengingatkanmu, berpesan-pesan untuk kebaikanmu, kadangkala saat ia goyah, itu tak kan terjadi. Maka saat itulah kau harus mengingatkan dirimu sendiri, punya kemauan yang keras untuk segera sadar.

Teman tentu saja bukan tali jemuran, yang ketika kau taruh pakaian basahmu, tinggal diambil saat ia kering. Saat kau gantungkan saja harapanmu, maka tinggal tunggu perwujudannya.

Bila kau pikir teman adalah tongkat untukmu yang pijakannya lemah, yang ketika kau jatuh, tinggal raih ia untuk kau pegang dan berdiri lagi. Harus kau sadari bahwa kadang-kadang tongkat itu bisa patah, bengkok. Lantas mau pakai apa kau? Disaat itulah kau butuh yang lain, cari alternatif untuk berdiri lagi. Justru kemauan kerasmulah yang bisa merubahmu menjadi lebih tegar, berdiri tanpa selalu dengan bantuannya. Bukankah begitu pula yang diperlihatkan oleh bayi yang baru berjalan?


Demikianlah analogi teman, silahkan ditambahan sesuai selera masing-masing. Haha..

Intinya dari semua analogi ini adalah jangan pernah berharap teman yang sempurna. Tak ada yang manusia yang sempurna termasuk si Teman

Da kata temen saya nih ya, "Jika masih mengharap yg sempurna dari teman anda, maka hanya ada satu kesempurnaan untuk anda berteman,,yaitu pada Tuhanmu..." Ya hanya pada Allah. ^_^

2 komentar:

  1. saat teman memberikan nasihat, itu tandanya Allah masih sayang sama kita, karena ada yang mengingatkan :) bismillah, itulah gunanya berkumpul dengan orang2 sholeh dan sholehah :) melly ngfans sama teteh, cek juga blog lumbung umat ya teh hehe http://lmerru.blogspot.com/2014/01/lumbung-umat-ssg-dt-26.html

    BalasHapus
  2. betul banget teh mel :) eh, sy juga ngefans sama teteh.. hehe. udah sy ikutin blognya teh. makasih atas undangannya :))

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.