Beng-Beng 15ribu

"Eh Fa, Beng-Beng harganya berapa sih?" Tanya seorang teman dengan wajah ragu.
"Tadi aku beli harganya 15ribu 2."
"Oh, depan kampus kan?" Sanggahku mantap. Teringat kejadian bulan lalu.
"Iya, aku kasihan, yang jual nenek-nenek gitu. Katanya 15 dapat 2, kirain aku Rp.1.500, eh tenyata 15ribu, aku kaget!"
"Hahaha... iya, aku juga pernah gitu, cuma...pas mo beli, ada ibu-ibu yang jualan cilok di depannya ngelarang beli dengan harga segitu."

Kejadian pagi itu masih lekat diingatanku, bagaimana ekspresi ibu-ibu si penjual cilok ketika menahan tanganku yang akan menyerahkan 3 lembar uang 5000an.
"Jangan neng!" Katanya dengan wajah berkerut-kerut. Sementara si nenek cuma tersenyum kecut.
"Biarin Bu, Nggak apa-apa!" Kasihan si nenek. Mungkin beliau memang butuh uang, sehingga cemilan cokelat yang biasanya dijual 2000an itu, dijualnya dengan harga berkali lipat. Lagipula sedari awal, memang ingin membeli jualannya bukan karena saya ingin, tapi iba.
"Ih...jangan neng!" Si Ibu, mengambil uang yang akan saya serahkan ke nenek itu.
Si nenek tampak bingung, apalagi saya. Ibu penjual cilok ini aneh.
"Mahal Neng!" Katanya masih menyatukan ke dua alisnya. Lantas ia berjongkok mendekati nenek. "Mahal-mahal banget, 2000an atuh nya?" Rupanya dia menawar. Nenek menggeleng. Si ibu balik menatap saya "Nggak usah Neng!"
"Nggak apa-apa Bu, biarin aja!" Saya tetap ngotot.
"Kalau gitu, 5000 yah? 1 aja!" Tanyanya balik ke si nenek. Dan nenek mengangguk lemas, pasrah.
Si Ibu menyerahkan kembali uang Rp.10.000 ke genggaman saya beserta 1 bungkus Beng-Beng. Lantas mendorong-dorong saya yang masih menatap nenek kasihan bercampur bingung.
"Udah Neng, udah!"Katanya lagi, membuat saya menyerah dan melangkah masuk kampus dengan banyak tanda tanya.

"Iya, kudu' hati-hati sama orang kayak gitu. Biasanya ada yang ngontrol, ada ketuanya. Itu teh bisa jadi memang punya perkumpulan tersendiri." Kata temen saya yang satunya lagi memutus khayalan singkat ini.
"Iya, tapi kan kasihan. Jangan su'udzhon!" Sambutku.
"Ih, bukan su'udzhon, ini mah kenyataan. Bukan cuma yang gituan, tapi juga ada pengamen, pengemis, dan ada juga tuh yang suka bilang nggak punya uang buat ongkos makanlah, pulanglah, dan lain-lain. Harus hati-hati!" Sambungnya.
Dan diskusi sambil jalan kami pun berlanjut hingga ke kantin Salman.

Memang di Bandung ini, ada banyak sekali modus peminta-minta. Sampai saya berpikir, kreatif benar orang-orang di sini, sampai orang-orang macam ini pun terpercik mencari seribu satu macam cara.
Kreatif memang hal yang sangat membanggakan, tentu bila digunakan untuk hal-hal baik yang membangun, bukan untuk memelas kasihan orang lain.
"Kenapa coba, orang-orang ini tidak menggunakan otak kreatif mereka untuk membuat trobosan, menciptakan sesuatu yang bernilai, bukan malah menengadahkan tangan dengan tampang mengiba." Kadang saya berpikir begitu. Tapiiii... memang tak bisa dipungkiri beginilah dunia, kadang kita seperti tidak punya ruang untuk mengasah diri, atau tak punya wadah yang mau menerima segala ide-ide liar kita, bahkan sekedar menjadi tempat untuk bertanya atas "ketidakadilan" yang kita rasakan. Akhirnya, ada saja orang yang hidup tak menentu, tunggang langgang di jalanan, tak tentu arah, mati akal. Kasihan sekali.

"Orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara." Rasa-rasanya ada bunyi pasal UUD yang menyatakan ini. Ah, tapi entahlah, maksud dari kata "dipelihara" ini seperti apa. Apakah memang dengan memberi peluang kepada mereka untuk tetap menengadah mengisi perut, menunggu receh demi receh? Atau memelihara dengan membiarkan mereka tetap terlantar, memelihara yang sama artinya dengan melestarikan? Tak tahulah dan sudahlah!

Eh, tiba-tiba saya teringat dengan bocah tukang becak yang sering nangkring di dekat kampus saya dulu. Yang meskipun juga tak punya uang untuk sekedar mencukupi kebutuhan hidup, tapi punya cara lain, katanya biar tidak minta-minta. Ya, narik becak bersama anak-anak lainnya, saingan orang dewasa.

Satu hal yang saya mengerti dari ini, bahwa ternyata karena memang dunia ini makin kejam saja. Maka kita tidak perlu mencari kambing hitam, pemerintah, atau apalah! Cukup mulai dari diri sendiri. Menanamkan dalam diri masing-masing, bahwa boleh terpuruk di dunia, tapi jangan sampai di akhirat, salah satunya selagi masih bisa usaha sendiri, maka jangan meminta!

Mungkin segelintir orang sudah mengerti benar ini, semoga disusul orang-orang miskin dan anak-anak-anak terlantar lainnya. Dan semoga kita bisa menjadi salah satu jalan untuk membuat mereka mengerti, atau paling tidak, bisa kita terapkan sendiri dengan tidak lagi meminta kepada orang tua. aamiin.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.