Selamat Datang di Dunia DISKRIMINASI

Kau salah kawan, jika mengira diskriminasi hanya ada untuk orang-orang "kecil" dan memang tidak bisa berbuat apa-apa.
Hari ini kuceritakan kepadamu bahwa perlakuan semacam ini juga bisa menyerang siapa saja yang "berbeda" dari kumpulannya. Meski kau tidak tahu apa yang salah pada dirimu, dan mungkin memang tidak ada yang salah.

Seorang gadis termenung sendiri di selasar kampus, aku datang mendekatinya sekedar untuk menyapa, sudah lama tak berjumpa sejak liburan semester ini. Tapi tiba-tiba saat sedang asyik mengobrolkan liburan, dia bertanya, "Kau pernah merasa terasingkan, merasa tak dianggap?" Mungkin ini yang tadi dilamunkannya.
Haha...Tentu, kusambut tawa seperti biasa, kupikir ini cuma becanda saja. Tapi dia hanya tersenyum kecil lantas membuang pandangannya ke depan kami, kosong.
Aku mulai menaruh perhatian. "Kenapa nanya gitu? Emmm... pernah sih, kadang-kadang, tepatnya merasa tersisihkan karena mungkin saya berbeda dengan yang lain"
"Nah, tepat! Tapi, menurutmu apakah itu bisa terjadi ketika kau dengan segala daya dan upaya telah kau usahakan untuk membuat sesuatu itu maju? Maksudnya...saat kau berada di sebuah perkumpulan, kau sudah merasa meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk berbuat sebaik mungkin untuk kemajuan perkumpulanmu atau pertemananmu itu."
Kukerutkan dahi sejenak, "Sejak kapan anak ini begitu menaruh perhatian besar terhadap hal yang seperti ini?
"Lah, bukannya kamu yang selalu bilang, tidak usah terlalu dipusingi kata orang, kita mah hidup kudu' melaju terus, kalau perlu tancap gas! Hehe...orang mau suka atau tidak suka itu urusan dia, selama yang kita lakukan memang baik dan merasa tidak melanggar prinsip-prinsip apapun, ya sudah!" Kataku berusaha mengulang kalimat penyemangat yang pernah ia tujukan padaku. Meski memang tidak sama persis.
"Ya, seperti itulah harusnya. Tapi, tetap ada yang ganjil. Saya merasa perlu mencari tahu apa salah saya, perilaku apa yang sudah saya buat sehingga diperlakukan begini!" Ia ikut mengerutkan kening.
"Ooooh.... ini tetang kamu? SELAMAT DATANG DI DUNIA DIKSRIMINASI, kawan!" Senyumku, memegang bahunya.
Dia tertawa.
"Aku merasa aneh, dan jujur jadi malas untuk berkumpul lagi dengan beberapa orang. Aku merasa tidak sedang melakukan kesalahan apa-apa, tapi kau tahu, saat aku ceritakan tentang riwayat pendidikanku, lantas pernah memberi masukan beberapa kali terhadap mereka, tiba-tiba aku merasa diasingkan. Padahal cerita dan masukan itu atas permintaan mereka sendiri, katanya biar kita lebih bisa lebih akrab dan memajukan satu dengan yang lain. Aneh kan?"
Aku manggut-manggut. Temanku yang satu ini memang punya pendidikan mumpuni dan seabrek pengalaman yang patut diacungi jempol.
"Jadi, begini, saya ulang lagi prinsip yang dulu sudah pernah kita bahas sebelumnya, bahwa hidup kita adalah kita yang menentukan, bukan siapa-siapa. Selama kita ada dijalur yang telah dianjurkan agama, maka biarkan orang berkata..." Part terakhir aku nyanyikan. "Batu, lama-lama juga akan bolong kalau terus diterjang ombak. Alaaahh!! Saya sok puitis! Haha." Aku geli sendiri. "Lagipula...Jangan su'udzhon-lah!"
"Awalnya saya juga berpikir begitu." Katanya. "Tapi semakin ke sini, semakin kelihatan. Ah, tak perlukan kuceritakan secara detail, yang ada kita ghiba."
"Hmmm...ya sudahlah! Dunia ini memang begini ini, perlu kita tersakiti sedikit, beberapa kali, biar bertambah kuat, ya kan? Lagipula kalau memang benar seperti perkiraanmu, berarti itu masalah mereka dengan diri mereka. Orang iri tidak pernah menang! Ingat saja itu, semoga lebih lega, kawan!" Kataku bergegas karena dosen yang kutunggu baru saja lewat di dekat kami, aku harus mengejarnya sebelum "hilang" lagi.

Selang beberapa hari, saya kepikiran. Benar juga, perbedaan seringkali menjadi alat untuk mendiskriminasikan seseorang atau sesuatu. Padahal kita yang berbuat itu belum tentu lebih baik dari yang terasingkan tersebut, boleh jadi ini hanya bentuk ketidaksukaan kita terhadapnya, lebih parah lagi bila ini hanya perwujudan dari rasa iri kita terhadap yang ada padanya. Na'udzubillah.

Dan orang-orang yang merasa tersakiti atas tindakan tersebut, mungkin kemudian jadi down, kurang bersemangat dan enggan lagi bergaul dengan kita. Sedangkan, boleh jadi justru dialah salah satu jalan yang akan membuat kita dan banyak orang maju, karena apa yang dia miliki. Apakah kita tak merasa bersalah karena seakan merebut haknya untuk bersemangat? Mendiskriminasikannya seakan memutus kesempatannya untuk berkembang dan mengembangkan diri kita.

Maka, sejak saat itu, saya berpikir 1.000 kali sebelum mendiskriminasikan seseorang. Karena konon pada akhirnya, saat teman saya itu memutuskan untuk tidak aktif lagi diperkumpulan tersebut, maka kabarnya perkumpulan itu sudah tidak eksis lagi, kehilangan semangat, jarang muncul ide-ide baru, dan lain-lain. Mungkin bukan sepenuhnya sebab teman saya ini keluar, tapi boleh jadi salah satu penyebabnya, atau bisa jadi pula karena akumulasi dari diskriminasi-diskriminasi yang terjadi di dalamnya.

Demikian.
Nah, boleh jadi cerita fiktif ini terjadi padaku, padamu dan siapa saja.
Betapa dampak buruk diskriminasi itu bisa kemana-mana. Bukan cuma sampai di sini. Dan mungkin, cerita-cerita diskrimnasi lainnya bisa membatu.
Silahkan dipikirkan lagi! *mengingatkan diri juga.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.