Pulanglah, Bila Harus Pulang!
Kadang, kita memang sulit membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Dan sesuatu yang kita inginkan sekali bisa jadi baik atau malah sebaliknya. Sungguh, pengetahuan kita nihil, sedangkan pengetahuan Allah meliputi langit dan bumi. Oleh karena itu, patutnya segala harapan terbaik kita gantungkan hanya pada-Nya.
Mari sejenak meletakkan ego, lalu fokuskan lagi tujuan hidup!
Bahwa sejatinya, kehidupan hanya persinggahan yang sangat sementara, dan kita sebagai musafir wajib mengumpulkan bekal yang banyak untuk dihadapkan kepada-Nya. Yang terbaik yang kita bisa, semampu kita. Lupakan tentang kesenangan! Karena ternyata, kesenangan akan diperoleh seiring dengan perbuatan baik yang terus kita realisasikan. Maka tak perlu khawatir! Apalagi janji akhirat juga tidak pernah main-main.
"Apa yang paling kau inginkan di dunia ini?"
Apa? Apa? Lalu apa?
Dan apalagi jawabannya bila tidak ingin menjadi orang yang bermanfaat seluas-seluasnya bagi manusia lainnya, menjadi hamba yang benar-benar menghambakan diri kepada-Nya.
Bukan cuma sekedar kalimat, tapi menagih realisasi dari hari ke hari.
Maka, segala cara untuk menuju kepadanya adalah hal mutlak untuk dikuasai dan dilakukan.
Termasuk, pulang, bila harus pulang!
Tidak bisa dipungkiri, bila kembali berbicara soal keinginan, rasanya tidak bisa diungkapkan lagi mimpi untuk terus melanglang buana, tinggal di luar kota kelahiran, merasakan sensasi hidup di belahan bumi lain, mengenal banyak orang, dan petualangan yang mungkin tidak diperoleh di tempat lain, mungkin juga karena ada rasa puas tiada tara saat membagikan kisah yang belum tentu dimiliki orang lain yang hanya menetap di suatu daerah saja.
Tapi....rencana hanya tinggal rencana. Karena sejatinya, Allah-lah pemilik skenario terindah. Mau tersadari ataupun tidak, takkan berubah.
Apalagi harus berhadapan dengan kewajiban, yang meski tidak diminta seharusnya tetap dilaksanakan. Maka, menggugurkan keegoisan rasa-rasanya adalah pilihan terbijak.
"Pulanglah, bila harus pulang!" Kalimat ini tengiang lagi di telinga.
Mama dan Bapak yang sebentar lagi akan pensiun, di usia tuanya tentu sangat membutuhkan kehadiran anak-anaknya. Paling tidak untuk sekedar memperhatikan makan atau mengerjakan pekerjaan rumah yang mungkin mereka sudah terengah-engah melakukannya. Lalu mendengarkan cerita serta petuah-petuah mereka. Lagipula, siapa yang akan memahami segala keperluan mereka, bila tak ada seorang pun yang bisa diajak berbagi?
Di usia mereka yang sudah jauh dari kata muda. Harusnya, anak adalah sandaran. Sebagaimana cara mereka menyanyangi dan menanamkan segala bentuk pemahaman baik di diri kita hingga sebesar ini. Bahkan segala jasa dan kasih sayang itu tidak akan bisa dituliskan semua ke dalam buku-buku, saking terlalu banyak dan mengalir terus.
Jadilah anak yang tahu balas budi! Bahkan saat tahu bahwa budi meraka takkan bisa pernah terbalaskan.
"Pulanglah, bila harus pulang!" Kalimat ini menggema lagi di hati.
"Apa yang kau cari sebenarnya?" Tidak lebih dari kesenangan dunia yang kadang melenakan. Hingga tunggu saja saat tabir terbuka, maka kau akan menyadari, bahwa rumah adalah tempat kembali yang paling menentramkan.
Bukan kesenangan jenis semu yang kau cari! Yang saat kau membuka mata, ternyata tidak nyata! Karena ia bisa datang dan pergi, dengan cepat berganti-ganti.
"Pulanglah, bila harus pulang!" Kalimat ini menghantui pikiran.
"Hujan emas di kampung orang, hujan batu di kampung sendiri", mungkin demikianlah keadaannya bila kita terus berkontribusi sebanyak mungkin di tempat lain, dan melupakan bahwa tempat kelahiran juga butuh tangan-tangan kita.
Maka, "Pulanglah, bila harus pulang!"
Mimpi-mimpimu akan terus menjadi nyata meski kau tak berada di tempat impianmu. Karena sesungguhnya mimpi itu tidak terkait pada tempatnya, tapi pada kesungguhan hatimu untuk merealisasikannya.
Dan, "Pulanglah, bila harus pulang!"
Senyum, tawa, dan segala euforia kegembiraan akan sama saja, dapat kau wujudkan di wajah penduduk bumi lainnya, meski bukan dia, dia, atau dia. Karena sebenarnya, kebahagiaan bukan hanya hak milik orang di sebuah tempat khusus saja, tapi di tempatmu juga, di mana pun kau berada.
Akhirnya, "Pulanglah, bila harus pulang!"
Ini saatnya membuktikan bahwa kau bisa jadi mentari yang menyudahi kegelapan, yang menjadi harapan untuk terang yang nyata.
Layaknya hujan yang diimpi-impikan setelah kekeringan bertahun-tahun.
Jadilah sang ombak yang tak kan terhenti meski dihadang karang, terus mencoba maju dan maju lagi.
Sejatinya, keberhasilanmu bukan ditentukan oleh pendapat orang lain terhadapmu. Tetapi tentang apa yang kau rasakan di sini, di hati.
Cukuplah Allah sebagai pembimbing dan pendamping di jalan yang engkau tapaki.
Kau tak lupa kan? "Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari." (Bukhari-Muslim)
Anggap saja kita sedang mendekati-Nya, di medan ini.
InsyaAllah ketentraman itu akan selalu melingkupi hati-hati dengan niat baik yang terus terjaga. Aamiin.
Mari, "Pulanglah, bila harus pulang! ^_^
Mari sejenak meletakkan ego, lalu fokuskan lagi tujuan hidup!
Bahwa sejatinya, kehidupan hanya persinggahan yang sangat sementara, dan kita sebagai musafir wajib mengumpulkan bekal yang banyak untuk dihadapkan kepada-Nya. Yang terbaik yang kita bisa, semampu kita. Lupakan tentang kesenangan! Karena ternyata, kesenangan akan diperoleh seiring dengan perbuatan baik yang terus kita realisasikan. Maka tak perlu khawatir! Apalagi janji akhirat juga tidak pernah main-main.
"Apa yang paling kau inginkan di dunia ini?"
Apa? Apa? Lalu apa?
Dan apalagi jawabannya bila tidak ingin menjadi orang yang bermanfaat seluas-seluasnya bagi manusia lainnya, menjadi hamba yang benar-benar menghambakan diri kepada-Nya.
Bukan cuma sekedar kalimat, tapi menagih realisasi dari hari ke hari.
Maka, segala cara untuk menuju kepadanya adalah hal mutlak untuk dikuasai dan dilakukan.
Termasuk, pulang, bila harus pulang!
Tidak bisa dipungkiri, bila kembali berbicara soal keinginan, rasanya tidak bisa diungkapkan lagi mimpi untuk terus melanglang buana, tinggal di luar kota kelahiran, merasakan sensasi hidup di belahan bumi lain, mengenal banyak orang, dan petualangan yang mungkin tidak diperoleh di tempat lain, mungkin juga karena ada rasa puas tiada tara saat membagikan kisah yang belum tentu dimiliki orang lain yang hanya menetap di suatu daerah saja.
Tapi....rencana hanya tinggal rencana. Karena sejatinya, Allah-lah pemilik skenario terindah. Mau tersadari ataupun tidak, takkan berubah.
Apalagi harus berhadapan dengan kewajiban, yang meski tidak diminta seharusnya tetap dilaksanakan. Maka, menggugurkan keegoisan rasa-rasanya adalah pilihan terbijak.
"Pulanglah, bila harus pulang!" Kalimat ini tengiang lagi di telinga.
Mama dan Bapak yang sebentar lagi akan pensiun, di usia tuanya tentu sangat membutuhkan kehadiran anak-anaknya. Paling tidak untuk sekedar memperhatikan makan atau mengerjakan pekerjaan rumah yang mungkin mereka sudah terengah-engah melakukannya. Lalu mendengarkan cerita serta petuah-petuah mereka. Lagipula, siapa yang akan memahami segala keperluan mereka, bila tak ada seorang pun yang bisa diajak berbagi?
Di usia mereka yang sudah jauh dari kata muda. Harusnya, anak adalah sandaran. Sebagaimana cara mereka menyanyangi dan menanamkan segala bentuk pemahaman baik di diri kita hingga sebesar ini. Bahkan segala jasa dan kasih sayang itu tidak akan bisa dituliskan semua ke dalam buku-buku, saking terlalu banyak dan mengalir terus.
Jadilah anak yang tahu balas budi! Bahkan saat tahu bahwa budi meraka takkan bisa pernah terbalaskan.
"Pulanglah, bila harus pulang!" Kalimat ini menggema lagi di hati.
"Apa yang kau cari sebenarnya?" Tidak lebih dari kesenangan dunia yang kadang melenakan. Hingga tunggu saja saat tabir terbuka, maka kau akan menyadari, bahwa rumah adalah tempat kembali yang paling menentramkan.
Bukan kesenangan jenis semu yang kau cari! Yang saat kau membuka mata, ternyata tidak nyata! Karena ia bisa datang dan pergi, dengan cepat berganti-ganti.
"Pulanglah, bila harus pulang!" Kalimat ini menghantui pikiran.
"Hujan emas di kampung orang, hujan batu di kampung sendiri", mungkin demikianlah keadaannya bila kita terus berkontribusi sebanyak mungkin di tempat lain, dan melupakan bahwa tempat kelahiran juga butuh tangan-tangan kita.
Maka, "Pulanglah, bila harus pulang!"
Mimpi-mimpimu akan terus menjadi nyata meski kau tak berada di tempat impianmu. Karena sesungguhnya mimpi itu tidak terkait pada tempatnya, tapi pada kesungguhan hatimu untuk merealisasikannya.
Dan, "Pulanglah, bila harus pulang!"
Senyum, tawa, dan segala euforia kegembiraan akan sama saja, dapat kau wujudkan di wajah penduduk bumi lainnya, meski bukan dia, dia, atau dia. Karena sebenarnya, kebahagiaan bukan hanya hak milik orang di sebuah tempat khusus saja, tapi di tempatmu juga, di mana pun kau berada.
Akhirnya, "Pulanglah, bila harus pulang!"
Ini saatnya membuktikan bahwa kau bisa jadi mentari yang menyudahi kegelapan, yang menjadi harapan untuk terang yang nyata.
Layaknya hujan yang diimpi-impikan setelah kekeringan bertahun-tahun.
Jadilah sang ombak yang tak kan terhenti meski dihadang karang, terus mencoba maju dan maju lagi.
Sejatinya, keberhasilanmu bukan ditentukan oleh pendapat orang lain terhadapmu. Tetapi tentang apa yang kau rasakan di sini, di hati.
Cukuplah Allah sebagai pembimbing dan pendamping di jalan yang engkau tapaki.
Kau tak lupa kan? "Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari." (Bukhari-Muslim)
Anggap saja kita sedang mendekati-Nya, di medan ini.
InsyaAllah ketentraman itu akan selalu melingkupi hati-hati dengan niat baik yang terus terjaga. Aamiin.
Mari, "Pulanglah, bila harus pulang! ^_^
Leave a Comment