About Love...
Mencintai Allah dengan menegangakkan segala
perintah-Nya lalu menjauhi larangan-Nya mungkin tak mudah, bahkan cenderung
kalah dengan cinta kita pada selain-Nya. Namun, karena ia berjalan di atas
logika, maka suka tak suka pun harus tetap dilakukan. Sami’na wa atho’na. Demikian cinta mengajarkan untuk berupaya
mencintai.
Cinta bukan perasaan yang tak terkendali,
tetapi cinta adalah sebuah kerja yang kita pilih. Maka lihatlah kedua
perbedaannya.
Salman Al Farisi ra., sahabat Rasulullah ini
telah mengajarkan kepada kita bahwa cinta merupakan penerimaan. Ia memilih
ikhlas terhadap ketetapanNya.
Hari itu, dengan perasaan yang berkecamuk
bahagia ia tetapkan niat untuk meminang seorang wanita Anshar yang dicintainya.
Lalu bersama sahabatnya Abu Darda’, mereka menuju rumah wanita shalihah
tersebut. Penyambutan yang ramah ketika tuan rumah menyatakan rasa terhormatnya
saat mereka menyampaikan niat itu.
Tetapi, ternyata kebahagiaan tersebut tidak
berujung pada pernikahan Salman. Sang wanita justru memilih Abu Darda’, sahabat
yang sekedar menemani, untuk menjadi pendamping hidupnya.
Maka, siapa yang tidak patah hati? Malu tentu!
Tetapi Salman lelaki berakhlak mulia tersebut lebih memilih jalan cinta yang
sesungguhnya. Rasa-rasa tidak mengenakkan yang manusawi luntur dengan
kebahagiaan orang-orang terkasihnya.
Ia katakan dengan tegas, “Allahu ‘akbar! Semua
mahar dan nafkah yang kupersembahkan ini akan kuserahkan kepada Abu Darda’ dan
aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Tertikung. Mungkin demikian istilah kita untuk
situasi seperti ini. Saat kita boleh memilih untuk tancap gas tak mau kalah
atau mempersilahkan demi kedamaian sesama.
Yang kita cintai belum tentu yang terbaik,
karena jodoh adalah bagian dari ketetapan Allah yang tak terduga, ketetapan
yang tak pernah keliru. Demikian Salman menghayati perasaannya.
Tak kalah Syahdu, kisah cinta terkenal dari
‘Ali bin Abi Thalib ra., yang betapa pun ia menginginkan Fatimah Az Zahrah ra.,
putri Rasulullah, tetapi ia lebih memilih menahan diri. Sebuah pengajaran bahwa
rasa tidak mesti mengalahkan logika.
Saat Abu Bakar dan Umar radiallahu anhuma, kedua manusia mulia tersebut melamar Fatimah, ia
mempersilahkan demi menghitung-hitung cacat diri.
Tapi apa kata takdir? Fatimah ra. adalah jodoh
beliau. Maka terasa jauh atau tidak pantas sekali pun di mata manusia, ia tetap
berlaku jika Allah menghendaki. Barakallah...
Lalu mari kita dengar kata Umar bin Khattab
ra. saat Rasulullah bersabda, “Engkau harus mencitaiku melebihi cintamu pada
diri dan keluargamu.”
Dengan mantap disambutnya, “Ya Rasulallah,
mulai hari ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini.”
Kita boleh tersenyum, ikut berbangga dengan
teladan-teladan tersebut.
Begitukah cinta? Selalu menyisahkan kisah
sembilu lara pada pelakunya?
Tentu, bila kita mengharuskan bahwa apa yang
kita beri itu pula yang wajib kita terima. Padahal, memberi itu sendiri adalah
menerima, meski dalam bentuk lain. Bolehlah kita menengok hati, sehingga
menemukan persandingan meriah antara kepuasaan, kebahagiaan, hikmah, serta
banyak hal yang justru lebih besar nilainya dari apa-apa yang kita beri.
Lalu, begitu mudahkan melupakan rasa? Bergeser
dari kesukaan menjadi biasa saja? Mungkin tidak, bahkan sulit, tapi bukankah
kita telah berjanji untuk mengupayakan keridhaanNya? Maka suka mau pun tidak,
itu urusan kesekian dan kesekian.
Leave a Comment